Richard Newcomb, ahli genetika di New Zealand Institute for Plant and Food Research, ingin mengetahui mengapa sebagian orang jijik atau tertarik dengan bau tertentu. Ia dan rekannya melibatkan hampir 200 orang.
Para partisipan dites kepekaannya akan 10 bau berbeda yang umum ditemukan dalam makanan, di antaranya malt, apel, blue cheese, dan bunga violet. Masing-masing bau ditambahkan dalam jumlah sedikit ke satu dari tiga gelas wine.
Konsentrasinya perlahan-lahan ditingkatkan hingga titik di mana para peserta bisa mengidentifikasi gelas mana yang diberi tambahan aroma. Seperti diberitakan Daily Mail (02/08/13), Newcomb lalu mengambil sampel darah untuk memeriksa DNA mereka.
Iapun melihat area DNA mana yang berbeda antara orang yang bisa mencium zat tersebut dan mereka yang tidak. Ternyata perbedaannya besar. Dalam kasus bunga violet, sebagian orang lebih baik 10.000 kali lipat dalam mendeteksinya.
"Kami terkejut mengetahui seberapa banyak bau yang berhubungan dengan gen. Jika ini meluas ke bau lain, kita bisa menyimpulkan masing-masing orang sensitif terhadap seperangkat bau tertentu," ujar Jeremy McRae dari Plant and Food Research.
"Bau ini ditemukan di makanan dan minuman yang kita temui setiap hari, seperti tomat dan apel. Bisa jadi, ketika seseorang duduk bersantap, mereka mengalaminya dengan caranya sendiri," lanjut McRae.
Selain itu, peka terhadap salah satu bau belum tentu berarti sensitif pula mencium bau lain. Tim McRae menemukan varian genetik terkait penciuman terletak di dalam atau di dekat gen yang menyandi (encode) penerima bau.
Molekul reseptor bau terletak di permukaan sel syaraf sensorik di hidung kita. Ketika molekul tersebut mengikat senyawa kimia yang melayang di udara, sel syaraf mengirimkan impuls ke otak, menimbulkan persepsi bau.
Para peneliti berhasil mengungkap dengan tepat mutasi dalam gen reseptor bau OR5A1 yang mendasari sensitivitas bau violet dan mempersepsikannya sebagai bau bunga. Mereka yang kurang cakap membaui violet mendeskripsikan baunya dengan berbeda, yakni asam atau tajam, dan cenderung menganggapnya tak sedap.
Menurut Newcomb, mengetahui senyawa apa yang bisa dicium orang dalam makanan dan produk lain akan berpengaruh pada pengembangan produk di masa depan. "Perusahaan bisa merancang makanan berdasarkan sensitivitas target, mengembangkan makanan dan produk lain yang disesuaikan dengan rasa dan bau kesukaan mereka," ujar Newcomb optimis.
(odi/fit)